Apa yang menjadi daya tarik Yogyakarta sehingga banyak orang berduyun-duyung menghampirinya? Jawabannya adalah budaya dan adat istiadatnya. Maka, merugilah orang-orang yang datang ke Yogya tapi tidak belajar sama sekali tentang luhurnya falsafah budaya Yogya.
Sebenarnya yang merugi itu saya banget. Selama tinggal di Yogya sejak awal tahun ini, saya sama sekali belum jalan-jalan dan belajar tentang budaya Yogya itu. Makanya, ketika diajak untuk menghadiri diskusi di Keraton Yogya bersama Komunitas Malam Museum, dengan semangat 45 saya nyatakan kesediaan saya, terlebih seumur hidup saya belum pernah menginjakkan kaki di Kraton Jogja.
Diskusi yang diselenggarakan di Bangsal Kasatriyan Kraton Jogja, pada Sabtu, 17 Maret 2018 itu membahas tentang Tingalan Jumenengan Dalem, yakni salah satu hajad dalem, atau upacara resmi yang diselenggarakan keraton untuk memeringati kenaikan tahta Sri Sultan.
Sebagai narasumber, hadir GKR Hayu – putri keempat Sri Sultan Hamengku Bawono X, dan Tim Tepas Tandha Yekti, yakni divisi TI dan dokumentasi Kraton Jogja yang bertugas untuk mengelola data digital keraton dan mendokumentasikan segala kegiatan dan peninggalan keraton.

Terkait Tingalan Jumenengan Dalem, acara ini diselenggarakan tiap tahun dengan waktu yang berbeda tiap raja karena disesuaikan dengan mulai kapan raja tersebut memimpin. Untuk Sri Sultan HB X (raja yang bertahta sekarang), anniversary tahtanya dilaksanakan tiap 29 Rejeb tanggalan Jawa.
Dalam perayaan ini, prosesi yang dilakukan ternyata panjang kali lebar. Setidaknya ada dua tahap dalam rentang waktu sekitar sepekan. Tahap pertama merupakan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di dalam tembok keraton dan dimulai H-2 acara puncak pengetan jumenengan dalem. Sedangkan tahap kedua dilaksanakan di luar keraton dan bisa dihadiri oleh masyarakat umum.
Ngebluk
Secara kronologis, hari pertama (27 Rejeb) prosesi dimulai dengan ngebluk, yakni kegiatan mempersiapkan bahan dan adonan untuk membuat apem. Aktivitas ini dilakukan di Bangsal Sekar Kedaton, Keputren. Ngebluk hanya boleh dilakukan oleh para wanita yang dipimpin Permaisuri dan Putri Raja tertua. Selain para Putri Raja, orang-orang yang terlibat pada prosesi ngebluk adalah para kerabat Keraton beserta Abdi Dalem Keparak.
Proses pertama, para Putri dibantu oleh Abdi Dalem mencampurkan bahan yang diperlukan guna dijadikan jladren atau adonan. Adonan terus diaduk hingga tercampur. Proses pengadukan adonan menimbulkan suara “bluk”, sehingga prosesi ini disebut Ngebluk. Setelah menjadi jladren, adonan kemudian dipindahkan kedalam enceh (gentong berukuran besar), kemudian didiamkan selama satu malam agar adonan mengembang.
Pada waktu bersamaan beberapa Abdi Dalem Keparak memiliki tugas lain untuk mengeluarkan layon sekar (bunga sesaji yang sudah layu atau mengering) dari Gedhong Prabayeksa (gedung penyimpanan Pusaka). Layon sekar yang terkumpul selama satu tahun akan menjadi salah satu ubarampe yang akan dilabuh.
Ngapem
Hari kedua diisi dengan kegiatan ngapem (28 Rejeb), yakni memasak apem dari adonan yang telah dipersiapkan pada saat ngebluk. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh permaisuri dan para putrinya, serta diikuti oleh para keluarga dan kerabat putri. Acara memasak apem hanya boleh dilakukan oleh perempuan yang telah menikah, sedangkan yang belum menikah hanya boleh membantu dengan menata kue apem tanpa menyentuhnya langsung.
Kegiatan ngapem ini bisa berlangsung sehari penuh, pasalnya apem dimasak secara tradisional satu per satu menggunakan tungku. Jumlah kue apem yang harus dimasak pun mencapai ratusan, jumlah tersebut pun harus disesuaikan dengan tinggi Sang Raja, karena di akhir harus disusun sesuai dengan tinggi Sri Sultan.
Ukuran apem yang dimasak pun lebih besar dari apem yang biasanya dijual sebagai kudapan. Setidaknya, ada apem berdiameter 25 cm dibuat sebanyak 600 pasang, dan ada pula apem mustaka yakni apem dengan diameter lebih dari 35 cm yang dibuat oleh para perempuan yang telah menapouse.
“Lalu, kenapa harus memasak kue apem? Kenapa bukan kue lainnya?”
Ternyata, ada filosofi di balik kue apem ini, bahwa nama apem diserap dari Bahasa Arab afwan yang berarti maaf, hal ini dikarenakan pihak keraton percaya bahwa prosesi perayaan kenaikan tahta ini selaiknya merupakan ajang refleksi untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat.
Nah, apem-apem yang telah dimasak seharian ini akan dijadikan sebagai bahan upacara dan ubarampe prosesi pengetan jumenengan dalem selanjutnya. Tetapi, ada juga apem yang berukuran lebih kecil yang kemudian akan dibagikan kepada keluarga, kerabat, dan abdi dalem pada prosesi di hari puncak.
Jika kalian penasaran dengan rasa apem tersebut, GKR Hayu dengan terang-terangan menjelaskan bahwa rasanya tidak enak, karena apem tersebut bukan untuk dimakan, melainkan sebagai kelengkapan upacara saja.
“Dari segi rasa sakjane kurang enak. Karena apemnya bukan untuk dimakan atau sajian dessert – tapi hanya untuk upacara. Jadi rasanya ya greasy, tidak enak, juga gosong karena apemnya harus dimasak matang sampai ke dalam,” ujarnya.
Pada waktu bersamaan dengan prosesi ngapem, para Abdi Dalem Reh Widyabudaya bertugas menyiapkan ubarampe labuhan. Ubarampe utama berupa seperangkat pakaian yang pernah digunakan Sultan, seperangkat pakaian untuk laki-laki dan perempuan, potongan kuku dan potongan rambut Sultan serta layon sekar. Ubarampe dibawa dari Kawedanan Hageng Punakawan Widya Budaya menuju ke Bangsal Manis untuk diteliti kembali kelengkapannya. Setelah semua lengkap, ubarampe kemudian diinapkan di Gedhong Prabayeksa.
Sugengan
Puncak dari Tingalan Jumenengan Dalem adalah Sugengan (29 Rejeb) atau dengan kata lain adalah kenduri atau slametan yang diselanggarakan di Bangsal Kencana. Sugengan ini akan dihadiri oleh para abdi dalem kaji yang terdiri atas para ulama dan santri yang kemudian bertugas untuk mendoakan Sri Sultan.
Ada tiga doa utama yang dipanjatkan pada saat sugengan tersebut. Pertama, doa untuk memohon keselamatan dan panjang umur bagi Ngarso Dalem (raja yang bertahta). Kedua, doa untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi keluarga raja. Ketia, doa untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi masyarakat Jogja.
Pada prosesi sugengan ini memang dinilai tidak meriah, karena cenderung dilaksanakan secara khidmat. Tetapi, ada beberapa kali puncak acara Tingalan Jumenengan Dalem ini diikuti dengan resepsi pada malam harinya dengan mengundang banyak tamu dan konon dilaksanakan cukup meriah.
Labuhan
Setelah prosesi sugengan, keesokan harinya (30 Rejeb) dilaksanakan upacara labuhan yang bermaksud sebagai doa dan pengharapan untuk membuang segala sifat buruk. Pada pelaksanaannya, Kraton Jogja mengarak seluruh ubarampe yang telah dipersiapkan dari Gedhong Prabeyeksa menuju Bangsal Srimanganti untuk diberangkatkan ke empat petilasan, yakni Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepi Khayangan.
Keempat petilasan itu dipilihan karena dinilai memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Sehingga prosesi labuhan ini secara tidak langsung merupakan napak tilas sejarah Kraton Jogja.
Ada yang menarik dalam upacara labuhan ini, semua abdi dalem yang mengarak uborampe diharuskan mengenakan pakaian adat lengkap (tanpa alas kaki) sejak berangkat dari keraton hingga sampai ke lokasi labuhan. Hal ini juga dilakukan saat menuju patilasan di Merapi. Namun, ada pengecualian saat labuhan di Gunung Lawu mengingat medan yang ditempuh cukup berbahaya, sehingga biasanya Abdi Dalem dilengkapi dengan jaket dan alas kaki.
Di beberapa tempat seperti Gunung Merapi dan Gunung Lawu, biasanya diadakan pesta rakyat pada malam sebelum upacara labuhan dilaksakan sebagai ungkapan rasa syukur dan suka cita masyarakat terhadap jumeneng-nya Sri Sultan.

Dalam diskusi yang saya ikuti, Tepas Tandha Yekti memberikan bocoran terkait jadwal prosesi Tingalan Jumenengan Dalem pada tahun ini, yakni:
13 April 2018: Ngebluk
14 April 2018: Ngapem
15 April 2018: Sugengan
16 April – 17 April 2018: Labuhan
Jika kalian berada di Yogya pada tanggal di atas, jangan sampai melewatkan prosesinya. Untuk prosesi Ngebluk hingga Sugengan memang tidak dibuka untuk umum, tetapi masyarakat dibolehkan untuk mengikuti prosesi labuhan di empat petilasan.
Cheers!
—
Referensi:
Diskusi bersama Malam Museum dan Tepas Tandha Yekti Kraton Jogja. 17 Maret 2018. Yogyakarta.
Tinggalan Jumenengan Dalem. 2017. Diakses di: http://www.kratonjogja.id/ulang-tahun-kenaikan-tahta/6/tingalan-jumenengan-dalem, pada 18 Maret 2018 17:36.
Hajad Dalem Labuhan. 2017. Diakses di: http://www.kratonjogja.id/ulang-tahun-kenaikan-tahta/2/hajad-dalem-labuhan, pada 18 Maret 2018 16:15.
One Comment
Seru banget ya kak bisa mengenal budaya jogja seperti itu.
Tahun lalu saya sempat ke kraton jogja, sayangnya cuma sebentar ja sih karena waktunya mepet banget.
Masih banyak yang perlu dikunjungi 😀