Meratapi Jiwa yang Merindukan Nanti

Sepertinya sebuah kesalahan besar bagi saya karena membaca novel Aan Mansyur yang berjudul Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi ini. Di tengah upaya untuk menghindar dari masa lalu, Aan malah menyarankan untuk hidup dan berdamai dengan kenangan.

Sudah tidak perlu diragukan, bahasa-bahasa puitis ala Aan Mansyur membanjiri sekujur novel ini. Banyak kalimat-kalimat yang layak dikutip dan akan tampak keren jika diposting di media sosial sebagai status.

Ada beberapa hal yang menurut saya sedikit mengganggu dari novel setebal 260 halaman ini, yakni tambahan catatan kaki dalam novel ini dari tokoh bernama Nanti. Catatan-catatan itu cukup menggelitik untuk dilirik, tapi sukses membuat saya kehilangan ritme dalam membaca, hingga akhirnya saya putuskan untuk tidak menghiraukan footnotes hingga novel ini tandas dinikmati.

Selain itu, munculnya tokoh Aan yang menyelip di cerita juga sempat membuat saya bingung. Karena sejak pertama kali berkenalan dengan tokoh utama bernama Jiwa, saya langsung menginterpretasikannya sebagai wujud dari Aan, ketika Aan lainnya muncul itu yang membuat saya harus mengalibrasi persepsi tentang tokoh Jiwa.

Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik dengan permainan kata yang cantik, kontradiktif, disertai analogi-analogi yang membuat pembacanya bisa mendeskripsikan secara lebih luas. Namun, ide ceritanya memang terlampau sederhana; mengisahkan seorang pria bernama Jiwa yang patah hati karena ditinggal menikah oleh kekasihnya Nanti.

Sosok Jiwa digambarkan sebagai seorang penulis puisi dan cerita pendek yang lemah karena penyakit jantung, tetapi kaya warisan kebijaksanaan dari nenek dan ibunya yang ditinggal pergi suaminya. Dia menjalin cinta dengan Nanti, setelah 3 tahun 9 bulan, mereka kemudian berpisah dan Nanti memutuskan untuk menikah dengan orang lain.

Jiwa berupaya keras untuk menyembuhkan patah hatinya, bertualang dan mencoba membangun kisah dengan perempan lain. Tetapi Jiwa tak sanggup keluar dari belenggu masa lalu yang diciptakan dari kenangan antara dia dan Nanti, hingga akhirnya dia memutuskan untuk tidak menikah sejak Nanti menikah.

Tapi, dari kesederhanaan itu Aan mampu merangkum semua hal yang menarik untuk diceritakan, menggambarkan bagaimana sebuah kenangan bisa tercipta, dan menunjukan bagaimana cara menuliskan dan mengumpamakan sebuah kebahagiaan dan kemalangan dengan cara yang indah. (bagian ini mungkin sangat subjektif, karena pada beberapa bagian saya merasakan ada ‘kisah’ yang sama, dan mau tidak mau membuat saya sedikit sentimentil saat membacanya)

Di sisi lain, Aan juga tak segan menggambarkan secara eksplisit hal-hal yang masih tabu di tengah masyarakat, yakni tentang hubungan seksual. Beberapa kali adegan intim antara Jiwa dan Nanti diceritakan dalam beberapa bab di bukunya.

Buat yang penasaran kenapa judul novel ini adalah Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi, hal itu diambil dari tekad Jiwa yang tidak ingin menyia-nyiakan air matanya dan tidak akan menangis hingga dunia berakhir, termasuk saat kematian orang-orang yang dicintainya. Dia menilai, kematian adalah hal yang sangat lumrah dan sangat dinantikan oleh dirinya sendiri.

Hampir sama seperti buku kumpulan cerpennya yang belum lama saya baca; Kukila, Aan memberikan saya khazanah lebih luas bahwa Indonesia tak hanya Jawa. Saya jadi tak sabar untuk segera menginjakkan kaki di Makassar, di kota yang menjadi latar cerita novel ini :).

Saya berikan skor 5/5 untuk novel ini, serta tak sabar untuk melumat karya sastra Aan lainnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *