17 Agustus 2015.
Ini merupakan hari ke-9 saya di Papua, tepatnya di Timika, Kabupaten Mimika. Saya bersama rombongan awalnya berencana melakukan ekspedisi menaklukan puncak gunung tertinggi di Indonesia: Carstensz Pyramid.
Entah ada tulah apa, sejak pertama kali menapakan kaki di tanah cenderawasih ini, semua rencana yang telah disusun tak ada satu pun yang berjalan lancar.
Berawal dari kasus penembakan helikopter di Papua pada beberapa hari sebelum keberangkatan kami, membuat dua menteri membatalkan rencana upacara 17-an di Zebra Wall, yang seharusnya menjadi basecamp pendakian kami untuk naik ke puncak.
Karena gagal rencananya itu, membuat akses menuju basecamp Lembah Danau hilang, pasalnya PT Freeport Indonesia tidak memberi kami izin masuk untuk menggunakan trem menuju lokasi tujuan.
Sebagai catatan, selama ini jalur pendakian ke Carstensz yang paling ideal adalah lewat Tembagapura, yang notabene merupakan wilayah tambang Freeport, sehingga para pendaki perlu izin khusus untuk bisa melewati jalur tersebut.
Berbagai cara masih diupayakan panitia supaya kami tetap bisa melalui jalan yang hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 3-4 hari. Tapi, setelah 6 hari yang penuh drama, izin tetap tak kunjung keluar.
Hingga akhirnya tim harus memilih alternatif jalur Sugapa-Ugimba-Carstensz yang membutuhkan waktu sekitar 14 hari.
Dari situ, rencana berubah kembali. Hingga ada beberapa anggota tim yang memutuskan untuk mundur dan tidak melanjutkan ke puncak, termasuk saya. Tapi, kami tetap berencana untuk tetap pergi ke Sugapa dan Ugimba.
Untuk menuju Sugapa di Kabupaten Intanjaya dari Timika, harus menggunakan pesawat terbang kecil dengan kapasitas sekitar 1,5 ton.
Karena banyaknya barang bawaan berupa logistik, ditambah 18 orang pendaki, membuat kami harus mencarter dua pesawat.
Tim pun dibagi dua kelompok. Kelompok pertama diisi 13 orang ditambah beberapa tas perlengkapan pribadi, sisanya diisi 5 orang dan kebutuhan logistik. Saya masuk daftar manifest penerbangan kedua.
Sabtu, 15 Agustus 2015, pukul 05.30 WIT kami semua sudah berkumpul di bandara Mozes Kilangin, karena penerbangan dijadwalkan pukul 06.00 WIT. Kami akan naik pesawat Trigana Air bekas penerbangan Nabire-Timika.
Hingga pukul 08.00 WIT, belum ada tanda-tanda kami akan berangkat, karena cuaca yang tidak mendukung. Sekitar pukul 09.30 WIT, pesawat pertama siap untuk terbang.
Tak berselang lama, kami dapat kabar bahwa pesawat kedua tidak bisa terbang ke Sugapa karena radio komunikasi rusak, dan penerbangan selanjutnya paling cepat hanya ada pada Senin, karena Minggu tidak ada penerbangan.
Akhirnya, formasi sedikit berubah, ada beberapa orang dan barang yang ditukar demi ‘menyelamatkan’ para pendaki yang duluan sampai ke Sugapa dan akan melanjutkan perjalanan ke puncak.
Tim pertama pun dengan selamat sampai di Sugapa. Tapi karena tidak ada perlengkapan dn logistik, rencana perjalan mereka ke Carstensz pun ikut terhambat, dan harus menunggu pesawat kedua sampai di Sugapa pada Senin.
Sementara, saya dan keempat rekan lainnya terpaksa harus menunggu lagi dua hari. Baiklah, kami sudah terbiasa menunggu, sehingga waktu dua hari tidak menjadi masalah.
Tak disangka, dalam waktu kurang dari 12 jam jadwal kami berangkat ke Sugapa, insiden penerbangan kembali terjadi di Papua. Pesawat Trigana penerbangan dari Sentani menuju Oksibil hilang kontak, dan diduga jatuh menabrak gunung.
Kejadian itu membuat Trigana memutuskan untuk tidak melakukan penerbangan pada Senin, sebagai bentuk belasungkawa. Dengan kata lain, penerbangan ke Sugapa pun otomatis hilang.
Sudah tahu kan itu artinya apa? Ya, penantian kami ternyata belum berakhir. Hati kami harus dipompa lagi supaya lebih besar, apalagi karena ditambah rumor bahwa Bandara Mozes Kilangin akan ditutup hingga tangga 19 Agustus karena ada demo besar-besaran yang biasanya memang terjadi setiap Hari Kemerdekaan RI.
Mengetahui hal itu, saya tidak bisa berpikir lagi, dan hanya bisa tersenyum. Jadwal penerbangan saya kembali ke Jakarta masih Jumat, 21 Agustus 2015. Ada beberapa hari lagi untuk melanjutkan menunggu sambil tetap memupuk harapan dan pikiran positif.
Selama di Papua dan mengalami semua kejadian ini, saya benar-benar mengimani kalimat ‘manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan’, juga anekdot yang sering disebutkan: ‘Selamat datang di Papua, di mana ketidakpastian adalah kepastian”.
Jadi, trik terbaik untuk menjalani hidup di sini adalah jangan terlalu banyak berencana, cukup lewati semua kejadian satu per satu. Setelah melangkah dan melewati satu hal, baru pikirkan hal lainnya.
Dan, saya masih memiliki lima hari lagi untuk menikmati rollercoaster perasaan di Papua, sekarang tanpa rencana jangka panjang. Cukup berharap sepanjang hari cuaca cerah. 🙂
Selamat dini hari dari Timika.
00.32 WIT
Leave a Reply